AKARMERDEKA, BREBES – Beredar surat berkop Kementerian Agama (Kemenag) yang meminta orangtua/wali siswa tak boleh menuntut atau buka suara, bila anak-anak mereka menjadi korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG).
Surat ini beredar di kalangan orangtua/wali murid di MTs Negeri 2 Brebes, Jawa Tengah.
Orangtua siswa diminta menandatangani surat pernyataan untuk menerima atau menolak program Makanan Bergizi Gratis (MBG).
Apabila menerima, orangtua diminta menanggung risiko yang mungkin timbul akibat MBG seperti gangguan pencernaan, reaksi alergi, ketidakcocokan makanan dengan kondisi kesehatan anak, hingga keracunan makanan.
Dengan demikian, orangtua wajib pasrah, bungka, dan tak boleh buka suara, apalagi menuntut bila anak-anak mereka jadi korban keracunan MBG.
Belakangan setelah surat tersebut viral dan dikeluhkan orangtua murid atas klausul yang dinilai tidak adil, pihak MTs Negeri 2 Brebes akhirnya menarik atau membatalkan surat tersebut.
MTs Negeri 2 Brebes juga enggan memberikan tanggapan atas surat tersebut.
Surat serupa ditengarai juga beredar di Cirebon, Jawa Barat; dan Tanah Datar, Sumatra Barat (Sumbar).
Dalam surat yang telah beredar, setidaknya ada enam poin, yang memaksa orangtua bungkam.
1. Terjadinya gangguan pencernaan (misal sakit perut, diare, mual, dan lainnya).
2. Reaksi alergi terhadap bahan makanan tertentu yang mungkin tidak terindentifikasi sebelumnya. Baca juga: Viral Surat soal Orangtua Diminta Tak Gugat Keracunan MBG, Ini Respons BGN
3. Kontaminasi ringan terhadap makanan akibat faktor lingkungan atau distribusi.
4. Ketidakcocokan makanan dengan kondisi kesehatan pribadi anak.
5. Keracunan makanan yang disebabkan oleh faktor di luar kendali pihak sekolah atau panitia (misalnya proses pengiriman atau kelalaian pihak ketiga).
6. Bersedia membayar ganti rugi sebesar Rp 80.000 jika tempat makan rusak atau hilang.
Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Brebes, Mad Sholeh, membenarkan perihal adanya surat pernyataan hingga beredar di media sosial.
Namun pihaknya telah meminta pihak sekolah untuk mencabut surat itu. Sebab, saat surat tersebut diterbitkan, tidak ada koordinasi dengan Kemenag. (*)