BRIN Warning Pemerintah, Krisis Air Bersih di IKN Itu Nyata!

BRIN memperingatkan pemerintah soal IKN. Menurut penelitian BRIN, krisis air bersih di IKN itu fakta dan nyata.

R. Izra
3 Min Read
Wacana moratorium pembangunan IKN terus menguat. Wakil Ketua DPR RI dari Partai Nasdem Saan Mustopa yang mengusulkan itu dan menyarankan agar Wapres Gibran berkantor di IKN. dok.

AKARMERDEKA, JAKARTA – Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali dihadapkan pada tantangan serius. Kali ini, persoalan mendasar yang muncul bukan soal infrastruktur, melainkan ketersediaan air bersih yang ternyata masih sangat terbatas.

Riset terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap fakta mencemaskan: wilayah IKN dan sekitarnya hanya memiliki air permukaan sebesar 0,51 persen dari total area.

Angka ini menunjukkan betapa minimnya sumber daya air di kawasan yang digadang-gadang sebagai kota masa depan Indonesia.

Temuan tersebut diperoleh melalui analisis data satelit menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN) oleh tim Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN.

Hasilnya, menjadi sinyal peringatan dini bagi pemerintah agar tidak menyepelekan aspek lingkungan dalam ambisi besar membangun ibu kota baru.

“Hasil riset ini menjadi peringatan penting bagi pemerintah dan para perencana IKN,” ujar Laras Tursilowati, Peneliti Ahli Utama BRIN, dalam konferensi media yang dikutip dari situs resmi lembaga tersebut.

Kalimantan selama ini dikenal sebagai wilayah dengan curah hujan tinggi. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebagian besar air hujan tidak terserap ke tanah, melainkan langsung mengalir sebagai limpasan (runoff). Penyebab utamanya: minimnya area resapan dan berkurangnya tutupan vegetasi alami.

Kondisi ini menciptakan paradoks lingkungan — rawan kekeringan saat kemarau dan berisiko banjir saat musim hujan.

Lebih jauh, data BRIN menunjukkan bahwa lebih dari 79 persen area IKN tidak memiliki cadangan air signifikan, sementara sekitar 20,41 persen area hanya memiliki air yang tersimpan dalam vegetasi, yang tidak bisa langsung dimanfaatkan sebagai air bersih.

Masalah semakin kompleks karena sebagian besar wilayah di sekitar IKN merupakan lahan gambut dan rawa. Air yang tersimpan di jenis tanah ini umumnya bersifat asam dan mengandung zat besi tinggi, sehingga membutuhkan teknologi pengolahan khusus sebelum layak konsumsi.

“Tanpa langkah konkret, potensi krisis air di IKN bisa terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan,” tegas Laras.

“Dampaknya tidak hanya pada kualitas hidup, tapi juga bisa memicu konflik sosial di masa depan.”

Sebagai langkah mitigasi, BRIN merekomendasikan penerapan konsep “Sponge City”, yakni perencanaan kota yang memungkinkan air hujan terserap dan tersimpan di dalam tanah melalui ruang terbuka hijau, taman kota, serta sistem drainase alami.

Selain itu, pembangunan embung, waduk kecil, dan program reboisasi juga dinilai penting untuk memperkuat cadangan air dan memperbaiki daya serap tanah.

Riset ini bukan sekadar data teknis, tetapi peringatan strategis agar pembangunan IKN tidak terjebak pada euforia pembangunan fisik tanpa kesiapan ekologis. Sebab, membangun kota masa depan tidak cukup dengan teknologi canggih—dibutuhkan juga ketahanan lingkungan yang nyata.

“Membangun IKN berarti membangun masa depan. Dan masa depan tidak akan bertahan tanpa menjamin keberlanjutan sumber daya airnya,” ujar Laras menegaskan. (*)

Share This Article