Dwifungsi Polri, 4.351 Polisi Aktif Rangkap Jabatan Sipil, Ahli: Hilangkan Kesempatan Warga Sipil

4.351 polisi aktif kini merangkap jabatan sipil. Tentu mereka juga mendapat fasilitas dan gaji ganda. Dwifungsi Polri?

R. Izra
3 Min Read
Ilustrasi polisi.

AKARMERDEKA, JAKARTA – Per hari ini, ada sedikitnya 4.351 polisi aktif yang merangkap jabatan sipil. Angka itu setara dengan 4.351 kursi birokrasi yang mestinya bisa diisi warga sipil, tapi justru dikuasai oleh korps berseragam cokelat.

Ironinya jelas: seorang sipil tidak mungkin tiba-tiba bisa masuk menjadi polisi aktif, tapi seorang polisi bisa dengan mudah menyusup ke dalam struktur ASN. Netralitas? Tinggal jargon di atas kertas.

Pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang membuka celah rangkap jabatan ini pun akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ahli pemohon, Suleman Ponto, dengan nada tegas menegaskan di sidang MK pada Senin (15/9/2025), bahwa rangkap jabatan ini memberangus kesempatan sipil menduduki jabatan tersebut.

“Apakah ini menghilangkan kesempatan sipil? Ya, menghilangkan. 4.351 polisi di jabatan sipil berarti 4.351 kesempatan orang sipil yang hilang. Karena 4.351 orang sipil itu tidak mungkin masuk polisi, tapi polisi bisa masuk ASN.”

Suleman juga mengingatkan, penempatan polisi aktif di jabatan sipil otomatis mengikis netralitas. Bagaimanapun, mereka tetap tunduk pada komando kepolisian, sekaligus dituntut melayani kepentingan lembaga sipil.

“Bayangkan kalau Brimob ditempatkan di BUMN. Saat terjadi konflik lahan sawit, siapa yang mereka bela? Publik, atau perusahaan tempat mereka ‘dinas sambilan’?” sindir Suleman.

Ia menambahkan, fakta di lapangan menunjukkan sejumlah BUMN memang sudah menggunakan Brimob untuk pengamanan perkebunan sawit. Bukti terang bahwa ketika polisi aktif masuk ranah sipil, garis netralitas langsung kabur.

Gugatan ini diajukan oleh Syamsul Jahidin. Ia menyoroti praktik rangkap jabatan yang membuat sejumlah perwira aktif bisa duduk di kursi strategis sipil tanpa perlu mundur atau pensiun. Jabatan yang dimaksud bukan kelas receh: mulai dari Ketua KPK, Sekjen KKP, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, hingga Kepala BNPT.

Menurut pemohon, praktik ini jelas menyalahi prinsip netralitas aparatur negara, merusak demokrasi, menabrak meritokrasi, sekaligus mendiskriminasi warga sipil yang seharusnya punya kesempatan setara.

Lebih jauh, kondisi ini dikhawatirkan menghidupkan kembali dwifungsi Polri: di satu sisi sebagai aparat keamanan negara, di sisi lain ikut mengatur pemerintahan dan birokrasi sipil.

Untuk mempertegas, berikut bunyi Pasal 28 Ayat (3) UU Polri beserta penjelasannya:

  • Pasal 28 ayat (3): “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”

  • Penjelasan Pasal 28 ayat (3): “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”

Namun, tafsir pasal yang longgar itulah yang kini dipersoalkan. Pemohon meminta MK menegaskan bahwa polisi aktif hanya boleh menduduki jabatan sipil jika sudah resmi pensiun atau mundur permanen dari dinas kepolisian. (*)

Share This Article