Prabowo Izinkan WNA Pimpin BUMN: Modernisasi atau Kurang Percaya Diri?

Prabowo merubah aturan, kini memperbolehkan warga asing jadi bos BUMN.

R. Izra
3 Min Read
Presiden Prabowo Subianto meresmikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sanur dan Bali International Hospital (BIH) di Kota Denpasar, Provinsi Bali, pada Rabu, 25 Juni 2025. (BPMI Setpres)

AKARMERDEKA, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto kembali bikin langkah besar yang langsung memantik perdebatan publik.

Dalam forum Forbes Global CEO Conference 2025 di Jakarta, Rabu (15/10/2025), Prabowo mengumumkan bahwa warga negara asing (WNA) kini boleh memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Saya sudah mengubah regulasinya. Sekarang ekspatriat bisa memimpin BUMN kita. Jadi saya sangat bersemangat,” ujar Prabowo di hadapan Chairman Forbes Media, Steve Forbes.

Pernyataan itu disampaikan bersamaan dengan rencananya memangkas jumlah BUMN dari sekitar 1.000 perusahaan menjadi hanya 200–240 agar lebih efisien dan “berstandar internasional”.

Langkah ini, di atas kertas, terdengar seperti upaya modernisasi. Tapi di balik semangat efisiensi dan globalisasi, banyak yang mempertanyakan: apakah Indonesia kekurangan talenta lokal sampai harus menyerahkan kemudi BUMN ke tangan asing?

Pemerintah berdalih, kebijakan ini untuk meningkatkan daya saing BUMN di pasar global.

Chief Investment Officer Danantara, Pandu Sjahrir, bahkan menegaskan bahwa visi Prabowo adalah menjadikan BUMN sebagai “global champion”.

Namun, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah pengelolaan aset strategis negara masih berpijak pada prinsip kedaulatan ekonomi nasional, atau justru mulai digeser ke arah liberalisasi korporasi?

Apalagi, kebijakan ini muncul tak lama setelah dua ekspatriat resmi duduk di kursi direksi Garuda Indonesia — masing-masing Neil Raymond Mills (eks Green Africa Airways) dan Balagopal Kunduvara (eks Singapore Airlines).

Keduanya dipercaya mengurus transformasi dan keuangan maskapai pelat merah itu, yang notabene pernah terseret dalam krisis utang dan restrukturisasi besar-besaran.

Transformasi atau Transfer Kendali?

Di satu sisi, kehadiran profesional asing mungkin membawa disiplin, efisiensi, dan pengalaman global yang dibutuhkan BUMN.

Namun di sisi lain, publik layak khawatir, jangan sampai jargon “standar internasional” justru jadi pintu masuk privatisasi terselubung atau bahkan penghilangan kontrol publik terhadap aset negara.

Sebab, BUMN bukan sekadar perusahaan, tapi juga alat negara untuk menjaga kepentingan rakyat.

Jika kepemimpinannya kini bisa dipegang oleh orang asing, maka batas antara efisiensi ekonomi dan kedaulatan nasional bisa makin kabur.

Langkah Prabowo jelas ambisius dan visioner. Tapi setiap kebijakan besar selalu butuh pengaman — terutama yang menyangkut aset strategis negara.

Pertanyaannya sederhana, apakah ini bentuk percaya diri bahwa Indonesia siap bersaing di panggung global, atau justru pengakuan diam-diam bahwa kita tak percaya pada kemampuan sendiri? (*)

Share This Article