Terbongkar! Praktik Jual-Beli Titik Dapur MBG, Ada 5.000 Dapur SPPG Fiktif

Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, mengungkap adanya 5.000 titik dapur MBG yang tercatat di sistem namun tidak pernah dibangun alias fiktif. Ada mafia jual-beli SPPG?

R. Izra
3 Min Read
Ilustrasi Makanan Bergizi Gratis (MBG)

AKARMERDEKA, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai prioritas nasional, kini menghadapi sorotan tajam menyusul terungkapnya dugaan praktik jual-beli titik dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, mengungkap adanya 5.000 titik dapur MBG yang tercatat di sistem namun tidak pernah dibangun alias fiktif.

Temuan ini mengemuka dalam rapat kerja Komisi IX dengan Badan Gizi Nasional (BGN), Senin, 15 September 2025 lalu. Nurhadi menyebut temuan itu bukan hanya soal data, tapi menyingkap indikasi permainan sistem dan percaloan titik dapur, di mana sejumlah pihak memanfaatkan kelemahan verifikasi untuk kepentingan bisnis.

“Ada oknum yang tahu sistem BGN, tahu proses pendaftarannya, lalu menggunakan yayasan pribadinya untuk mengunci titik dapur. Tapi setelah itu, dapurnya tidak dibangun. Ketika mendekati tenggat 45 hari, titik itu malah dijual ke investor,” kata Nurhadi, Rabu (17/9).

Dugaan ini memperkuat adanya praktik kongkalikong dalam proyek MBG, di mana dapur yang seharusnya dibangun untuk melayani kebutuhan gizi anak-anak justru diperdagangkan seperti komoditas.

Nurhadi menilai, sistem yang longgar membuka ruang besar bagi penyimpangan: dari praktik calo proyek, jual-beli titik dapur, hingga dominasi investor besar yang hanya mengejar keuntungan.

“Ribuan titik yang mangkrak bukan sekadar masalah teknis. Ini menyangkut hak anak-anak atas gizi, dan jelas ada yang mempermainkan sistem demi keuntungan pribadi,” tegasnya.

Temuan ini disebut berpotensi melibatkan jaringan konglomerasi yayasan, sebagaimana pernah dilaporkan oleh lembaga pemantau independen. Di lapangan, sejumlah yayasan berlomba-lomba mendaftarkan titik dapur hanya untuk mengamankan posisi mitra, namun tidak semua benar-benar membangun fasilitasnya.

Anggaran triliunan rupiah di ujung tanduk

Program MBG diketahui menyedot anggaran triliunan rupiah dari APBN. Karena itu, Nurhadi mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera turun tangan melakukan audit menyeluruh, tak hanya pada laporan administratif, tapi juga audit kinerja dan keuangan.

“Setiap keterlambatan pembangunan dapur berarti keterlambatan pemenuhan gizi anak-anak. Ini bukan sekadar proyek infrastruktur, tapi investasi masa depan bangsa,” ujar Nurhadi.

Dia juga menuntut BGN segera membuka data rinci mengenai titik-titik dapur yang bermasalah, status pembangunannya, dan siapa mitra yang bertanggung jawab atas keterlambatan tersebut.

Kegagalan sistem verifikasi dan pengawasan

Nurhadi menyayangkan lemahnya pengawasan sejak tahap awal, sehingga dapur-dapur fiktif bisa lolos pencatatan dan malah diperdagangkan ke pihak lain. Ia menyebut sistem saat ini terlalu reaktif — baru memverifikasi setelah masalah muncul.

“Harusnya verifikasi dilakukan paralel sejak proses pengajuan, bukan ketika tenggat waktu sudah habis dan dapurnya tidak ada,” katanya.

Sebagai contoh, Desa Nanggerang, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat menjadi salah satu lokasi yang tercatat sebagai penerima SPPG namun tidak ditemukan jejak pembangunan fisik di lapangan.

Menutup pernyataannya, Nurhadi menegaskan bahwa Program MBG tidak boleh menjadi lahan bisnis bagi segelintir oknum.

“Keberhasilan program bukan soal berapa banyak dapur tercatat, tapi apakah makanan sehat benar-benar sampai ke meja makan anak-anak Indonesia,” pungkasnya. (*)

Share This Article