AKARMERDEKA, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai sorotan. Alih-alih menurunkan angka gizi buruk, ribuan anak justru masuk daftar panjang korban keracunan.
Desakan publik agar program dihentikan sementara pun makin keras. Namun, Badan Gizi Nasional (BGN) bergeming: program tetap berjalan, target tetap dikejar.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, terang-terangan mengakui prioritasnya ada pada kuantitas penerima manfaat, bukan pembenahan sumber daya manusia.
“Utamanya adalah bagaimana target bisa dipenuhi,” ujarnya, Senin (22/9).
Soal ribuan siswa yang sakit usai menyantap menu MBG, Dadan mengaku cemas hingga sulit tidur. Meski begitu, ia menegaskan kasus tersebut masih dalam kategori ‘wajar’.
Dari 1 miliar porsi makanan yang sudah disajikan, menurut Dadan, hanya sekitar 4.711 porsi yang menyebabkan keracunan.
Bahkan jika jumlah itu membengkak hingga 6.000 atau 7.000, ia masih menganggapnya bagian dari risiko yang bisa diterima.
Fokus BGN: kejar target
Kenyataannya, data menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sejak Januari hingga 21 September 2025, sudah ada 6.425 anak menjadi korban keracunan MBG. Jumlahnya melonjak signifikan: Juli 342 kasus, Agustus 2.226, dan September mencapai 3.145 kasus.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyindir tajam: “Presiden butuh berapa ribu lagi korban? Atau memang harus ada korban nyawa dulu baru program ini dihentikan?”
Meski dihantam kritik, BGN memilih tetap pasang badan. Mereka berjanji membentuk tim investigasi, menutup sementara dapur bermasalah, hingga membuka kantor cabang di setiap kabupaten/kota mulai 2026 untuk memperkuat pengawasan.
Namun, untuk saat ini, fokus utama BGN hanya satu: jangan sampai target jumlah penerima manfaat meleset.
Dengan logika itu, keselamatan ribuan siswa tampaknya dianggap sekadar catatan kaki. Sebab, bagi BGN, mengejar target penerima manfaat lebih penting ketimbang memastikan anak-anak tidak berakhir di ruang gawat darurat. (*)